×

Our award-winning reporting has moved

Context provides news and analysis on three of the world’s most critical issues:

climate change, the impact of technology on society, and inclusive economies.

Manfaat makin jelas, apalagi dalih gagal melindungi hutan?

by Michael Taylor and Harry Jacques | @MickSTaylor | Thomson Reuters Foundation
Thursday, 9 July 2020 17:01 GMT

FILE FOTO: Foto udara hutan lindung Cikole, tidak jauh dari Bandung. 6 November, 2018. Antara Foto/Raisan Al Farisi via REUTERS

Image Caption and Rights Information

Ilmuwan terus menyajikan bukti kuat bahwa hutan yang terlindungi akan memberikan manfaat ekonomi dan lingkungan.

Oleh Michael Taylor and Harry Jacques

KUALA LUMPUR/JAKARTA, 10 Juli (Thomson Reuters Foundation) – Upaya global untuk menghentikan perusakan hutan sejauh ini terhambat minimnya pemahaman tentang keuntungan melindungi hutan, yang berujung pada lemahnya kemauan politik. Oleh sebab itu, bukti kuat tentang manfaat upaya menjaga hutan diharapkan dapat mengatasi hambatan tersebut.

Menurut data yang baru-baru ini dipublikasikan layanan pengawasan hutan Global Forest Watch, pada 2019 hutan hujan tropis mengalami kerusakan dengan laju setara luas lapangan sepak bola setiap enam detik. Hal ini terjadi meskipun kesadaran tentang peran hutan dalam mengikat karbon dan memperlambat perubahan iklim terus meningkat.

Global Forest Watch menyatakan hilangnya 3,8 juta hektar hutan tersebut adalah penurunan ketiga terbesar sejak awal abad ini, dengan Brasil, Republik Demokratik Kongo dan Indonesia sebagai tiga besar pelaku perusakan hutan.

Frances Seymour dari World Resources Institute (WRI), yang menjalankan layanan Global Forest Watch, mengatakan perlindungan hutan yang efektif terhambat oleh “kurangnya kemauan politik pemerintah untuk menegakkan hukum yang ada.”

“Kita terus mentolerir angka alih fungsi hutan ilegal yang tinggi. Kita terus membiayai pembangunan jalan dan infrastruktur lainnya yang mempermudah akses menuju hutan,” katanya. 

“Kita terus mengonsumi komoditas yang diperdagangkan secara global meski diproduksi di lahan baru hasil pembukaan hutan.”

Hambatan lainnya adalah lambannya realisasi pemberian insentif kepada negara-negara yang melestarikan hutannya dan rendahnya apresiasi terhadap nilai hutan sesungguhnya, lanjut Seymour, anggota senior kehormatan di WRI, lembaga kajian yang berbasis di Amerika Serikat.

Riset oleh lebih dari 100 peneliti minggu ini memperkirakan besaran manfaat finansial dan ekonomi skala luas jika tujuan bersama untuk melindungi 30% lahan dan air di bumi berhasil dicapai pada 2030.

Untuk hutan dan kawasan mangrove di negara tropis saja, pencapaian tersebut dapat mencegah kerugian sebesar 170 miliar hingga 534 miliar dolar AS pada 2050, ungkap penelitian tersebut. Penghematan tersebut bersumber dari pencegahan banjir, erosi dan kerusakan pesisir akibat gempuran badai, fenomena yang terjadi akibat hilangnya vegetasi. 

Sayangnya, menurut Seymour, manfaat alami hutan—termasuk konservasi keragaman hayati, menjaga kebersihan udara dan air serta mempertahankan suhu bumi—kerap diabaikan pembuat kebijakan hingga saat ini.

 

SASARAN IKLIM

Penebangan hutan berimplikasi besar terhadap target internasional untuk meredam perubahan iklim, karena pepohonan menyerap sepertiga emisi gas rumah kaca yang dihasilkan di seluruh dunia.

Hutan juga menyediakan pangan dan penghidupan bagi masyarakat yang tinggal di dalam atau sekitarnya, selain merupakan habitat penting bagi satwa liar.

“Ketika pembuat kebijakan menyadari keuntungan-keuntungan tersebut, perlindungan hutan akan mendapat perhatian lebih besar,” kata Seymour. Dia memberi contoh tindakan perlindungan hutan yang diambil Indonesia setelah kebakaran hutan yang parah pada 2015, yang akhirnya dapat mengerem laju deforestasi.

Seymour mencatat bahwa Brasil juga telah berhasil mengurangi deforestasi di Amazon sebesar 80% selama periode 2004 hingga 2012 dengan meningkatkan penegakan hukum, memperluas kawasan hutan lindung, menghormati kawasan adat dan memberikan insentif untuk mengendalikan konversi lahan.

“Jika kebijakan-kebijakan ini tidak lagi digalakkan, deforestasi akan kembali marak,” tuturnya kepada Thomson Reuters Foundation.

 

BERUPAYA LEBIH KERAS

Beberapa bulan terakhir, aktivis pelestarian lingkungan telah memberi peringatan tentang meningkatnya ancaman terhadap hutan di seluruh dunia akibat pembatasan-pembatasan yang diterapkan untuk membendung pandemi virus corona dan dampak ekonominya.

Meski tidak dapat sepenuhnya dihentikan, deforestasi dapat dikurangi secara signifikan, ujar Robert Nasi, direktur jenderal Center for International Forestry Research.

“Kita harus realistis, mengingat model ekonomi dan demografi kita yang seperti ini,” katanya.

Seperti janji-janji yang disepakati oleh perusahaan besar pada 2010 untuk menghentikan pembukaan hutan terkait produksi minyak sawit yang pada umumnya gagal. Kebanyakan perusahaan tersebut terlewat tenggat waktu kesepakatan, meski harus diakui bahwa sedikit banyak mereka telah membawa perubahan, ungkap para aktivis lingkungan.

“Lebih baik menetapkan target inspiratif yang ambisius dan sulit dicapai daripada gol yang mudah dicapai,” kata Nasi. “Tapi kita juga harus lebih serius berusaha.”

 

PROSPEK BERAT

Perusahaan-perusahaan harus berupaya lebih keras untuk menaati komitmen anti-deforestasi, ujar Kiki Taufik, kepala kampanye kehutanan Greenpeace Asia Tenggara.

Pemerintah harus melipatgandakan upaya regulasi dan pengawasan penggunaan lahan, memberi insentif fiskal untuk konservasi dan menerapkan transparansi berbasis data yang terpercaya, dia menambahkan.

Namun, meski dunia telah memiliki perangkat dan pengetahuan yang cukup untuk mencapai hal tersebut, hanya sedikit aktivis pelestarian lingkungan yang yakin akan ada perubahan signifikan di tahun-tahun mendatang.

Banyak yang memprediksi deforestasi dengan tujuan pertanian akan meningkat seiring degradasi hutan boreal akibat perubahan iklim dan kebakaran.

Seymour juga mengatakan bahwa metode yang telah terbukti mampu melindungi hutan harus terus digenjot, seperti memberi komunitas adat hak hukum dan dukungan negara untuk melindungi kawasannya dari perambah.

Kuncinya terletak pada 10 tahun ke depan, dia menambahkan.

“Jika kita terus berada di jalur yang sekarang… hutan kita pasti akan jadi makin sedikit, makin rusak dan makin rawan kebakaran pada 2030,” dia memperingatkan.

 

PERANGKAT KONSERVASI

Aktivis lingkungan menuding produksi minyak sawit—minyak pangan yang paling banyak digunakan di dunia—sebagai penyebab sebagian besar kerusakan dan kebakaran hutan di Asia Tenggara beberapa tahun terakhir.

Upaya menjadikan industri ini lebih ramah lingkungan mengalami kendala.

Hampir satu dekade yang lalu, perusahaan minyak sawit raksasa Golden Agri-Resources yang terdaftar di pasar modal Singapura mulai bekerja sama dengan Greenpeace untuk menyusun standar lingkungan baru.

Langkah ini membuahkan metodologi High Carbon Stock Approach (HCSA) pada 2014, yang menggunakan citra satelit, survei lapangan dan konsultasi dengan masyarakat setempat untuk membedakan hutan bernilai tinggi yang membutuhkan perlindungan dan lahan yang cocok untuk pengembangan.

“Kita ingin menghentikan deforestasi,” tutur Grant Rosoman, penasihat kehutanan senior di Greenpeace and salah satu pendiri HCSA. “Kita punya perangkat untuk bertindak.”

Pada 2018, metodologi HCSA diadopsi lembaga pengawas industri global Roundtable on Sustainable Palm Oil.

Kemudian pada 2019, HCSA menandatangani kemitraan dengan World Cocoa Foundation, kelompok pelaku industri yang mengendalikan sekitar 85% rantai pasok kakao, untuk mengakhiri deforestasi dalam perdagangan kakao.

Pada Juni, hampir 700.000 hektar hutan bernilai tinggi telah diamankan untuk tujuan konservasi. HCSA mengestimasi, upaya ini dapat mencegah penebangan 8-10 juta hektar hutan pada 2030.

“Metodologi ini telah terbukti mampu melestarikan hutan tropis sekaligus mengangkat hak masyarakat lokal,” direktur eksekutif HCSA Judy Rodrigues mengatakan.

Namun pada awal tahun ini, raksasa minyak sawit Wilmar dan Sime Darby Plantation keluar dari komite pengarah HCSA. Wilmar mengungkapkan kekhawatiran tentang pengelolaan HCSA, sementara Sime Darby menyatakan akan lebih fokus pada “komitmen di lapangan” dalam operasi dan rantai pasok globalnya.

HCSA menyatakan masalah-masalah yang dikemukakan oleh Wilmar tengah dalam proses penyelesaian.

 

KELUARGA PETANI

Di Indonesia, negara produsen minyak sawit terbesar di dunia, analis mengatakan kemajuan juga tergantung pada apakah pengusaha perkebunan skala kecil akan diberikan akses untuk menggunakan perangkat konservasi hutan.

HCSA tengah menguji coba versi sederhana dari metode yang mereka miliki untuk petani kecil yang umumnya mengelola lahan kurang dari empat hektar.

Uji coba dengan petani kelapa sawit dan komoditas lainnya juga tengah dilaksanakan di Ghana, Meksiko dan Peru.

“Keluarga petani adalah tulang punggung rantai pasok komoditas,” tutur Rodrigues. “Sangat penting mendukung mereka untuk dapat memainkan peran utama dalam rantai pasok bebas deforestasi.”

Di Indonesia, HCSA tengah mengerjakan uji coba program di tiga desa di Kalimantan, bersama Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS)—koperasi yang beranggotakan sekitar 48.000 petani kecil.

Ketua SPKS Mansuetus Darto mengatakan dia berharap model pelestarian yang telah disempurnakan itu dapat membantu produsen mematok harga lebih tinggi.

“Ini jalan baru menuju kesejahteraan yang lebih baik bagi petani,” katanya.

 

Artikel terkait:

Investing in nature-rich countries is 'an insurance policy for all'

No let-up in global rainforest loss as coronavirus brings new danger

Rainforest Alliance aims to help ethical growers get climate-smart

Cash payments to cut poverty in Indonesian villages help forests too

 

(liputan oleh Michael Taylor dan Harry Jacques @MickSTaylor; disunting oleh Megan Rowling. Dalam mengutip harap sebutkan Thomson Reuters Foundation, divisi nirlabaThomson Reuters, yang mengangkat kehidupan orang-orang di berbagai penjuru dunia yang berjuang untuk hidup bebas dan adil. Kunjungi kami di: http://news.trust.org)

Our Standards: The Thomson Reuters Trust Principles.

-->