×

Our award-winning reporting has moved

Context provides news and analysis on three of the world’s most critical issues:

climate change, the impact of technology on society, and inclusive economies.

Hukuman penjara bagi petani penebang 20 pohon soroti konflik lahan di Indonesia

by Michael Taylor | @MickSTaylor | Thomson Reuters Foundation
Tuesday, 19 May 2020 10:45 GMT

FILE FOTO: Petani memanen buah sawit di perkebunan di Langkat, Sumatra Utara, 12 Januari 2013. REUTERS/Roni Bintang

Image Caption and Rights Information

Undang-undang yang hakikatnya dibuat untuk menyasar perusahaan pembalak liar justru digunakan untuk menghukum masyarakat adat, tutur aktivis.

Oleh Michael Taylor

KUALA LUMPUR, 19 Mei (Thomson Reuters Foundation) – Dipenjarakannya seorang petani dari kelompok masyarakat adat dengan undang-undang yang dibuat untuk menghentikan pembalakan liar oleh perusahaan menunjukkan lambannya upaya melindungi masyarakat adat dan menjamin hak mereka atas hutan adat, aktivis hak asasi manusia (HAM) mengatakan Kamis lalu.

Bongku, warga suku Sakai di Sumatra, divonis satu tahun penjara oleh pengadilan negeri Senin lalu karena menebang 20 pohon di lahan hutan sengketa November lalu tanpa izin Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Vonis ini adalah cara untuk menghalau dan mengintimidasi suku asli Sakai agar meninggalkan wilayah adat mereka,” kata Andi Wijaya, pengacara dan aktivis HAM dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru yang mendampingi Bongku di pengadilan.

“Putusan ini adalah bukti bahwa negara tidak melindungi hak-hak masyarakat adat yang hidupnya bergantung kepada hutan,” tutur Andi kepada Thomson Reuters Foundation tentang tuntutan tersebut.

Di seluruh Indonesia, masyarakat adat dan pedesaan berjuang untuk menguasai kembali lahan warisan nenek moyang mereka, menyusul putusan yang mencabut kepemilikan negara atas hutan adat pada 2013.

Presiden Joko Widodo berjanji mengembalikan 12,7 juta hektar lahan tersebut kepada masyarakat adat, tetapi belum ada kemajuan berarti, tutur aktivis hak-hak pertanahan.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak merespon Thomson Reuters Foundation ketika dimintai komentar tentang kasus Bongku.

Baru-baru ini, pembatasan mobilitas untuk membendung penyebaran virus corona baru menjadikan petani dan masyarakat adat lebih rentan kehilangan lahan, menurut para aktivis yang juga memperingatkan adanya peningkatan intimidasi dari aparat.

Masyarakat Sakai telah hidup dan bercocok tanam di lahan hutan di Provinsi Riau selama sekitar 60 tahun, dengan bertani kentang dan tanaman lainnya, demikian pembelaan Bongku saat persidangan, tutur Andi.

Aktivis HAM mengatakan undang-undang yang digunakan untuk menuntut petani berusia 58 tahun itu semestinya diterapkan terhadap perusahaan yang secara terorganisir melakukan pembukaan hutan.

Undang-undang yang sama juga digunakan untuk menghukum petani dan masyarakat adat di Sulawesi dan Surabaya, meski kasusnya ditolak oleh hakim, kata Andi.

 

KRIMINALISASI ADAT

Rukka Sombolinggi, sekretaris jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara yang turut terlibat dalam kasus Bongku menyatakan bahwa vonis tersebut adalah contoh “kriminalisasi yang dihadapi masyarakat adat yang tidak memiliki kepastian hukum.”

Rukka juga mengatakan bahwa Suku Sakai terancam punah akibat tanah adat mereka diberikan kepada pihak swasta tanpa konsultasi dan pemeriksaan yang layak.

Bongku, yang sudah mendekam di balik jeruji selama tujuh bulan sambil menunggu persidangan, dan masyarakat Sakai telah terlibat dalam sengketa lahan sejak 2001 dengan perusahaan pulp dan kertas PT Arara Abadi, salah satu anak perusahaan Asia Pulp & Paper Group (APP).

Juru bicara APP merujuk pada pernyataan perusahaan pekan lalu yang menyebutkan bahwa Arara Abadi telah melakukan inspeksi lapangan dengan perwakilan masyarakat, dalam upaya menyelesaikan sengketa lahan di kawasan konsesi mereka.

Inspeksi tersebut menyimpulkan bahwa lahan itu “tidak pernah dihuni atau dikelola suku Sakai,” pernyataan tersebut melanjutkan.

Meski Arara Abadi mengupayakan mediasi di tingkat lokal dan nasional, yang berujung pada kesepakatan antara perusahaan dan suku Sakai, “masih terjadi upaya penguasaan lahan di kawasan yang ditujukan untuk perkebunan industri,” lanjut pernyataan tersebut.

Andi mengatakan Bongku bukan orang pertama dari suku Sakai yang dituntut ke pengadilan selama terjadinya konflik. Delapan lainnya telah divonis pada 2009 atas penguasaan tanah ilegal.

Andreas Harsono, peneliti dari Human Rights Watch di Jakarta, mengatakan kasus Bongku “lagi-lagi menimbulkan pertanyaan tentang hak masyarakat adat di Indonesia.”

“Perkebunan seperti PT Arara Abadi dan kepolisian di Riau seharusnya tidak menangkap dan menuntut Bongku yang menebang pohon di lahan yang semestinya adalah milik sukunya,” Andreas menambahkan.

 

Artikel terkait:

Deforestation risks rise as coronavirus hinders SE Asia protection

Indigenous people under threat from Indonesia's plan to move capital

'Too many' maps slow return of Indonesia's indigenous land

 

(Liputan oleh Michael Taylor @MickSTaylor; disunting oleh Megan Rowling. Dalam mengutip harap sebutkan Thomson Reuters Foundation, divisi nirlaba Thomson Reuters yang mengangkat kehidupan orang-orang di berbagai penjuru dunia yang berjuang untuk hidup bebas dan adil. Kunjungi kami di: http://news.trust.org)

 

Standar kami: The Thomson Reuters Trust Principles.

Our Standards: The Thomson Reuters Trust Principles.

-->